Gadis Manis di Jendela

Oleh: Al Jupri

Beberapa bulan yang lalu, saat masih di Belanda, saya dikirimi sepuluh buah buku oleh Pak Ersis Warmansyah Abbas sebagai hadiah, katanya. Ya, hadiah sebagai komentator teraktif nomor dua di blognya.

Dari sepuluh buah buku kirimannya, lima di antaranya adalah buku tentang puisi. Baik puisi berbahasa Indonesia ataupun puisi berbahasa Banjar, bahasa daerah orang-orang Kalimantan Selatan. Entah apa maksud beliau mengirimi saya buku-buku tentang puisi tersebut. Apakah agar saya termotivasi untuk menulis tentang puisi, khususnya puisi matematika? Atau karena memang dari banyak karya bukunya, sebagaian besarnya adalah tentang puisi, makanya beliau mengirimi saya buku-buku semacam itu?

Jujur saja, saya akui, sebetulnya saya kurang berminat dengan karya-karya sastra berbentuk puisi. Entah apa sebabnya, yang jelas saya belum tahu! Tetapi, sebagai bentuk rasa terimakasih pada beliau (Ersis Warmansyah Abbas), saya berusaha dengan segenap kemampuan membuang jauh rasa kurang keberminatan saya itu. Ya, saya pun sedikit-demi sedikit membaca buku-buku puisi kiriman beliau.

Satu bagian yang hampir tak pernah saya lewatkan bila membaca buku yaitu, saya selalu tertarik membaca kata pengantar atau pendahuluan dari suatu buku. Begitu pula dengan buku-buku puisi kiriman Pak Ersis itu. Yang pertama-tama saya baca adalah bagian kata pengantar atau pendahuluan dari buku-buku tersebut. Dengan membaca bagian ini, setidaknya saya jadi tahu sekilas tentang buku yang akan saya baca.

Dalam buku antologi puisi berjudul Tajuk Bunga, saya mendapati satu kalimat menarik yang dikemukakan oleh Dr. Jumadi, yang bertindak selaku pembuka wacana dari buku tersebut. Kalimatnya itu begini.

Para penulis puisi dalam antologi ini menyadari bahwa puisi-puisi yang dilahirkan bukan tandingan puisi-puisi Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, atau W.S. Rendra.

Bagi saya kalimat tersebut menarik, entah menurut Anda? Kalimat tersebut, secara matematis bisa ditulis ulang menjadi seperti berikut ini.

Para penulis puisi dalam antologi ini menyadari bahwa puisi-puisi yang dilahirkan tidak sama kualitasnya dengan puisi-puisi Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, atau W.S. Rendra.

Dengan simbol matematis, perkataan tidak sama kualitasnya dengan dapat diganti dengan simbol \neq (baca: tidak sama dengan). Lantas, apa makna dari simbol \neq itu?

Secara matematis \neq bisa berarti dua macam. Yang pertama, bisa berarti kurang dari (ditulis <). Dan yang kedua, bisa berarti lebih dari (ditulis > ) *.

Contohnya begini. Misalkan x \neq 5. Ini berarti nilai x itu ada dua kemungkinan. Yang pertama, bisa jadi x < 5. Beberapa nilai x yang kurang dari 5 itu misalnya: 4, 3, 2, 1 atau lainnya. Yang kedua, bisa jadi x > 5. Beberapa nilai x yang lebih dari 5 misalnya adalah: 6, 7, 8 atau lainnya.

Dengan demikian, analog dengan pengertian matematis tersebut, kalimat menarik dari Dr. Jumadi tadi bisa bermakna dua macam. Yang pertama, karya-karya dari para penulis puisi (dalam buku antologi puisi berjudul Tajuk Bunga tersebut) kualitasnya kurang dari karya-karya Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, atau W.S. Rendra. Yang kedua, karya-karya dari para penulis puisi (dalam buku antologi puisi berjudul Tajuk Bunga tersebut) kualitasnya lebih dari karya-karya Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, atau W.S. Rendra.

Jadi, walaupun perkataan menarik dari Dr. Jumadi tadi bermaksud merendah, tetapi sebetulnya juga bernada optimis. Merendah karena karya-karya yang ada dipandang kualitasnya kurang dari para pujangga terkenal. Dan optimis karena bisa jadi karya-karya yang ada (di buku tersebut) jauh lebih berkualitas daripada karya-karya para pujangga terkenal tersebut.

Entah, saya belum tahu, apakah interpretasi saya terhadap kalimat menarik tadi sama dengan maksud dari sang penulis (Dr. Jumadi)? (Pak Ersis, tolong dong tanyain ke beliau… he he he… 😀 )

***

Setelah membaca kata pengantar dan pendahuluan, atau pembuka wacana, dari buku-buku puisi kiriman Pak Ersis tersebut, saya pun dengan sedikit enggan berusaha membaca beberapa puisi yang ada. Sedikit-sedikit saya baca. Ternyata, banyak yang kurang saya pahami! Ya, saya kurang paham makna di balik puisi-puisi karya para penyair yang ada di buku-buku tersebut. Banyak sebabnya.

Sebab yang pertama. Barangkali karena saya kurang berminat dengan karya-karya sastra berbentuk puisi, akibatnya saya jarang membaca tentang hal itu, maka jelaslah saya kurang bisa dalam mengapresiasi suatu karya berbentuk puisi.

Sebab yang kedua. Barangkali karena kata-kata yang dipakai dalam menulis puisi itu bukan kata-kata biasa, tapi terpilih dan terasa nilai estetisnya, dan tersebab saya kurang banyak membaca karya-karya sastra, akibatnya saya miskin kosa kata. Ya, saya miskin akan kosa kata! Dan jelaslah ini berdampak pada kekurang mampuan saya dalam memahami makna di balik suatu puisi.

Sebab yang ketiga. Menurut Ersis Warmansyah Abbas, dalam beberapa buku puisinya, karya sastra dalam bentuk puisi, merupakan suatu karya yang bisa jadi merupakan gambaran puncak intelektualitas seseorang. Bila pernyataan ini benar, dan karena saya belum mampu menulis puisi, berarti saat ini saya masih belum mencapai karya puncak intelektualitas saya. Ini berarti, untuk menuju puncak intelektualitas, perlu proses yang tidak pendek. Barangkali karena memang saya masih dalam tahap proses menuju puncak intelektualitas, akibatnya saya belum mampu berkarya dalam bentuk puisi.

Sebetulnya masih ada beberapa sebab lain. Tapi saya pikir, tiga sebab di atas sudah cukup menjadi alasan bagi kekurang-mampuan saya dalam menulis puisi.

Tetapi!!!

Tetapi, walaupun begitu, bukan berarti saya tidak berusaha belajar, mencoba untuk menulis puisi. Setelah membaca dan menelaah beberapa puisi yang ada di buku-buku puisi kiriman Pak Ersis tersebut, akhirnya satu puisi saya buat. Mana puisinya?

Segera setelah menulis puisi, tak lebih dari 15 menit menuliskannya, saya baca karya puisi saya tersebut. Ternyata, saya merasa puisi saya masih belum bagus. Saya merasa tidak percaya diri dengan karya saya sendiri. Karena itu, saya pun meminta bantuan seorang teman di dunia maya ini untuk menyuntingnya. Puisi hasil suntingan teman saya itu seperti berikut ini. Judulnya: “Gadis Manis di Jendela”. Selamat menikmati!

Gadis Manis di Jendela

Kau bilang pada dunia tanpa sebut namaku

Dengan malu-malu, tentang rindu

Kau seorang gadis di seberang sana, di balik jendela

Gadis manis yang tak pernah ada dalam sua

Kau yang mengaku tak memilikiku

Kau bilang rindu

Nyatanya aku juga

Gadis manis di jendela

Silakan apresiasi puisi tersebut! Saya tunggu ya….

======================================================

Ya sudah, segitu saja dulu perjumpaan kita kali ini. Mudah-mudahan artikel ini ada manfaatnya. Amin. Sampai jumpa di artikel mendatang!

Catatan:

*Banyak orang yang membaca simbol < dengan perkataan: “lebih kecil dari”, yang sebetulnya kurang tepat, tepatnya dibaca: “kurang dari”. Begitupula banyak orang yang membaca simbol > dengan perkataan: “lebih besar dari”, yang juga sebetulnya kurang tepat, tepatnya dibaca: “lebih dari”. Contohnya, x < 5 dibaca: “eks kurang dari lima”.

=======================================================

Update: Sekarang, setelah mendapat ijin dari sang teman, saya sudah mentaut blognya. Terimakasih ya. Nih dia linknya. Klik aja kalau mau biar tahu. Okey?

16 Comments

Filed under Bahasa, Book, Book(s), Curhat, Iseng, Matematika, Menulis, Pembelajaran, Pendidikan, Pendidikan Matematika, Renungan, Sastra, Tokoh

16 responses to “Gadis Manis di Jendela

  1. He he sip … saya ngak berkomentar, menikmatinya. Analoginya, bagaimana kalau Kang Jupri ‘menikmati’ persamaan, atau rumus matematika. Ingatkan, E=MC2? Berapa analisis dan buku ditulis untuk menerjemahkan ‘puisi’ mBah Einstein. Itulah puisi, pncak intelektualitas.

    Saya tidak berkomentar, beberapa hari lalu di http://www.webersis.com saya memposting: Menulis Mafia Pusis. (Mafia; matematia, fisika, dan kimia). Minta tolong Kang Jupri menganalisisnya he he

  2. Saya sebenarnya juga orang yang kurang bisa mengapresiasi sastra, entah kenapa, tetapi setelah saya banyak mengunjungi beberapa situs sastra, kebanyakan berbahasa Inggris, ternyata banyak yang lumayan juga. Dan bagi saya pribadi, menghayati dan bahkan membuat karya sastra justru terpacu pada saat kita dalam keadaan emosional, entah itu emosional yang menyenangkan ataupun yang menyedihkan.

    Misalkan kita lagi jatuh cinta, kita terasa akan lebih mudah merangkai kata2 gombal indah untuk kekasih kita itu. Menurut saya, rayuan gombal adalah termasuk proses untuk mengekspresikan perasaan kita (bahwa kita tengah mencintai seseorang) lewat kata2…… hehehe…..

    Itu menurut pengalaman pribadi saya loh…. bukan menurut para ahli sastra…hehehe…..

  3. karya sastra dalam bentuk puisi, merupakan suatu karya yang bisa jadi merupakan gambaran puncak intelektualitas seseorang, Bila pernyataan ini benar…

    Pernyataan Pak Ersis itu kalimat terbuka ya pak? yang bisa jadi benar, juga bisa jadi salah. Nah, saya malah tertarik bertanya kapan pernyataan itu bernilai benar kapan bernilai salah?
    Karena sekedar menjejerkan kata-kata saja bisa jadi puisi. Apakah pekerjaan menjejerkan kata yang seperti ini merupakan puncak intelektual?
    Puisi yang bagaimana yang merupakan gambaran puncak intelektualitas seseorang?

    Hmm … Tentang puisi Pak Al, ini curhat ya pak? Siapa nih gadis di balik jendela? Jangan-jangan suka ngintip 😀 :mrgreen:

  4. UPS! Saya belum baca komentnya pak Ersis di atas. Kan sudah dijawab, Puisi yang seperti apa yang merupakan puncak intelektualitas? Puisi bukan hanya berarti kata-kata yang dijejer dan sok romantis, Enstein juga berpuisi dengan gayanyanya 😀 .

  5. Jadi pingin bikin puisi nih ..

    Saat aku tahu dia ada
    Terasa bergejolak hati ini
    Bukan karena ingin selalu jumpa
    Namun hanya dg melihatnya saja
    Seakan dunia ini selalu indah

    (puisi itu khusus untuk blognya al jupri hehe….)

    Ikan pari ikan cucut
    Yu mari kita lanjut..
    (kok jadi pantun?)

    Rasanya memang berat deh, menjalankan sesuatu yang tidak kita sukai (baca: yang tidak kita minati) Tapi lebih berat lagi kalo menjalankan sesuatu dg orang yang tidak kita sukai. Hehe jadi curhat.

    Hidup al jupri .. Keren deh puisinya.. (meski sulit untuk dipahami, mau kasih tau gadis ngintip aja rumit amat pak)

  6. @Ersis Warmansyah Abbas: Makasih nih Pak. Btw, ooooo gitu maksud dari puncak intelektualitas itu ya… ?

    @Yari NK: Iya, seringkali dalam keadaan emosional, jatuh cinta misalnya. Kata-kata gombal nan indah sering muncul, dan mudah untuk dituliskan, dalam bentuk puisi misalnya. 😀 Btw, mana nih puisi buatan Pak Yari?

    @mezzalena: Iya, puisi ini curhat, sekaligus membalas kerinduannya. 😀 Mau tahu siapa sang gadis di balik jendela itu? Tanyakan pada sang gadis sendiri aja ya… 😀

    @Rulieta: Makasih puisinya. Bagus!! Salam kenal ya…

  7. Nanti deh… kalau saya mau berpoligami jatuh cinta lagi, saya bikin deh puisinya! :mrgreen:

  8. Tanya ama Totto Chan dunk 😀

  9. Ups komen ane kurang jelas ya, maksudnya..kalau mau tau siapa gadis kecil di balik jendela itu, tanyakan aja ama Totto Chan…

  10. @Yari NK: Kapan mau poligaminya, Pak? Hue he he he…. Wah mau nulis puisi aja harus nunggu poligami dulu neeeh… :mrgreeen:

    @Yoga: Iya, Totto-Chan = Gadis Kecil di Jendela. Kalau dalam puisiku, Gadis Manis di Jendela. 😀 Gadis itu sering muncul, mengintip, tapi saya belum pernah jumpa dengannya… wakakakakaka… 😀

  11. Iya Mas Jupri, kayaknya bagus tuh idenya untuk bikin puisi matematika. Saya dukung dech…

  12. saya tinggal di jakarta, dan dalam sebulan terakhir ini saja dua kali berjumpa dengan Pak Ersis, tapi tak satupun saya dihadiahi buku. selamat buat anda hehehe…

  13. Aku tau siapa gadis manis itu
    *mode provocator on*

    :mrgreen:

  14. o5YAn

    Qu g4x nGRt! sDKit pUN KrN4 Qu SNGT ga sUk4 MTK tp Qu PNG3N BIsa…….MSh 4DA 3NG94X 5ICh
    c4ra Bw4t MpLZRI MTK dng4n cRA YANG lbiH Bis4 D.Mngry oL3H OrNG Y4NG GAX Bs4 sma sK4LI MAT3M4TIK4……..??????

  15. @Adhikresna: Iya terimakasih atas dukungannya. 😀

    @Windede: Terimakasih, Pak. Mmmm… minta aja ke Pak Ersis, Pak. Saya yakin dikasih… bukannya bapak temen akrabnya? 😀

    @agoyyoga: siapa mba? Kasih tahu saya dong… 😀

    @05YAn: 😀

  16. H M

    Hahaha saya sih tidak mengomentari puisinya……
    Tapi membayangkan seorang matematis membaca puisi…………nampaknya terlalu memaksakan kali….
    Satu menggunakan hati yang satu menggunakan akal…….
    Kalau bahasa betawinya ancur mine…..

    Salam lah sama piyan Ersis…..

Leave a reply to Al Jupri Cancel reply