Dilarang Makan Sambil Berdiri

Oleh: Al Jupri

“Kang, tahu ga?” tanya adik saya saat ngobrol sambil makan malam bersama beberapa waktu yang lalu.

“Bagaimana saya tahu kalau kamu belum apa-apa sudah nanya tahu apa engga?” begitu jawab saya seenaknya, agak kesal menanggapinya.

“Tahu apa?” balik saya bertanya padanya, sambil melahap nasi bungkus yang dari tadi sudah mulai disantap, dan sekarang kira-kira tinggal separuhnya. 😀

“Ternyata ngajar anak-anak TK itu asyik ya?” mulai dia memberi tahu saya, sambil senyum-senyum sendiri.

“Kemarin, ada kejadian yang bikin saya ketawa terus-terusan,” mulai adik saya bercerita. Ya, bercerita tentang anak muridnya di TK Al Qur’an. Kebetulan, adik saya itu, di waktu senggangnya, saat sore hari biasanya, dia membantu jadi pengajar di TK Al Qur’an yang dikelola oleh salah satu Masjid di kota Bandung, dekat kampus kuliahnya saat ini. Walaupun dia kuliah di Jurusan Pendidikan Fisika, tetapi mungkin karena punya bekal pendidikan agama yang cukup baik (lulusan Madrasah Tsanawiyah di kampung), dia dipandang mampu jadi pengajar TK Al Qur’an di tempatnya mengajar.

“Lucu bagaimana? Cerita dong yang bener, jangan senyum-senyum gitu,” pinta saya yang makin kesal menunggu ceritanya yang belum juga dimulai.

Ceritanya begini.

“Kan anak-anak TK tuh diajari kalau makan itu ga boleh berdiri, sesuai hadist rasulullah yang kira-kira artinya dilarang makan sambil berdiri,” mulai dia bercerita dengan baik, dengan mimik muka yang agak serius, bak seorang guru bercerita pada muridnya.

“Nah, namanya juga anak TK, masih ga bisa diem ngikutin pelajaran, banyak murid-murid saya yang saat jam belajar minta ijin untuk jajan, ” kembali dia tersenyum, sedikit tertawa, dan sambil terus bercerita, menirukan kata-kata muridnya yang lucu-lucu itu.

“Bu guru-bu guru, saya mau jajan ya Bu?” pinta beberapa anak TK pada ibu gurunya (adik saya itu).

“Iya boleh, tapi jangan lama-lama ya? Dua menit saja!”

“Yaaaaaaa bu guru, kok sebentar banget?” kecewa rupanya anak-anak itu.

“Berapa lama dong? Gemana kalau 10 detik?” tanya adik saya pada muridnya, yang sebetulnya becanda.

“Asyiiiiiiiik 10 detik!” sorak, girang anak-anak TK itu, sambil berlari menuju para pedagang jajanan, dekat tempat mereka belajar. :mrgreen: Itulah hal pertama yang membuat adik saya tersenyum-senyum, dan bahkan tertawa saat mulai bercerita ke saya tadi.

Ya, anak-anak TK itu belum mengerti kalau ibu gurunya itu becanda. Anak-anak TK itu belum mengerti kalau sepuluh detik itu waktu yang lebih pendek ketimbang dua menit. Tetapi, yang dipahami mereka adalah bahwa bilangan 10 itu bernilai lebih besar daripada bilangan 2. Anak-anak itu salah mengerti.

Sebelum adik saya bercerita lebih lanjut, saya bertanya pelajaran apa saja yang diajarnya. Katanya, dia mengajar baca Iqra (membaca huruf Arab, baca Al Qur’an), ngegambar, dan juga matematika.

“Matematika yang diajarin kamu ke anak-anak TK apa saja?” tanya saya ke adik saya itu. Adik saya masih sambil tersenyum, sambil makan juga, yang sebetulnya ingin melanjutkan ceritanya.

“Mmm.. ya pertama belajar mengenal bilangan, terus penjumlahan yang sederhana,” jelas adik saya.

“Misalnya gemana penjumlahan sederhana itu?” selidik saya.

“Ya, misalnya begini, 5 + 3 itu berapa? 4 + 3 berapa? Ya begitu,” jawab dia memberi contoh.

“Terus, ngajarin penjumlahan seperti itu bagaimana caranya ke anak TK?” tanya saya dengan rasa ingin tahu yang tinggi.

“Ya, kalau saya begini. Misalkan 5 +3. Saya bilang ke anak-anak, 5 di ‘kepala’, lalu 3 di ‘tangan’ (tiga jari). Nah, cara ngitungnya, setelah lima, baru jari-jari tangannya dihitung, yaitu: enam, tujuh, delapan (sambil menekuk tiga jari tadi),” begitu kata adik saya dengan semangat seorang guru menjelaskan ke muridnya.

“Nah, kalau 3 + 5, apa sama caranya? Atau beda?” tanya saya lebih menyelidik.

“Ya, sama caranya: 3 di kepala, 5 di tangan,” jelas adik saya.

“Lho. kenapa caranya bukan 5 di ‘kepala’, 3 di ‘tangan’? Itukan lebih mudah…” usul saya padanya.

“Yaaaaaa. saya juga sudah nyoba seperti itu, tapi anak TK kesulitan. Mereka lebih mudah kalau bilangan pertama yang dijumlahkan itu disimpan di ‘kepala’, dan bilangan ke dua disimpan di ‘tangan’,” begitu kata adik saya memberi informasi.

“Lalu, kalau pengurangan sudah diajarkan belum?” tanya saya lebih lanjut.

“Belum! Yang pengurangan anak-anak masih kesulitan mengertinya. Ya, jadinya yang penjumlahan dulu. Kan masih TK?” begitu adik saya bicara. Sementara itu saya masih menikmati sisa makanan yang masih ada di hadapan saya.

“Nah, Kang! Terus, kan setelah anak-anak itu jajan, mereka kembali ikut belajar, sambil makan,” adik saya kembali melanjutkan ceritanya. Saya seolah tidak hirau, masih asyik menikmati makanan.

“Lucunya begini. Kan biasanya, sambil belajar itu anak-anak TK itu suka aktif kesana kemari. Pas waktu itu, mereka tidak ada yang berani. Yang biasanya suka aktif, mereka merangkak-rangkak kalau ngedeketin temennya. Ada juga yang sambil ngesot. Lalu saya tanya anak-anak itu?” kata adik saya.

“Kenapa ngerangkak-rangkak?”

“Anu bu, makanannya masih ada di mulut! Kan ga boleh makan sambil berdiri, apalagi sambil jalan!” begitu kata anak murid yang ditanyanya.

Mendengar jawaban itu, adik saya langsung tersenyum, dan tertawa. Sampai dia teringat-ingat kejadian lucu itu katanya 😀

“Ya, makanannya kamu pegang dulu aja. Baru jalan ke temen mu! Ga usah ngerangkak-rangkak gitu, ” saran adik saya ke muridnya, sambil tersenyum.

“Ya, kagok bu. Udah di mulut makanannya,” jawab muridnya sambil terus merangkak menuju temannya.

Itulah hal kedua yang membuat adik saya tersenyum sambil bercerita.

***

Semenjak adik saya bercerita kejadian lucu yang dialaminya itu, di kemudian hari, ada kejadian yang sedikit lucu terjadi ke saya. Setelah makan siang di rumah makan harga/edisi mahasiswa 😀 yang biasa saya kunjungi, saya yang biasa iseng-iseng membeli es doger* di pinggir jalan, setelah dibuatkan oleh si mamang tukang dagangnya, hampir saya langsung memakannya sambil berdiri. Namun, karena teringat cerita adik saya itu, langsung saya terdiam, dan tidak langsung memakannya. Sambil menahan malu, saya tenteng segelas es doger itu menuju kamar kontrakan saya, untuk segera duduk dan memakannya. 😀

=======================================================

Ya sudah, segitu saja ya perjumpaan kita kali ini. Mudah-mudahan artikel ini ada manfaatnya. Amin. Sampai jumpa di artikel mendatang!

=======================================================

Catatan: *es doger = es campuran: parutan es balok, potongan kelapa muda, potongan tape (peuyeum) singkong, potongan roti tawar, air gula/pemanis, dan pewarna es. 😀 Harganya, yang gelas kecil Rp. 1000,- ini yang biasa saya beli. Hua hahahahahahaha… 😀

14 Comments

Filed under Bahasa, Cerita Menarik, Cerpen, Curhat, Indonesia, Iseng, Matematika, Menulis, Pembelajaran, Pendidikan, Pendidikan Matematika, Renungan, Sains, Sastra

14 responses to “Dilarang Makan Sambil Berdiri

  1. pertamax ya? waduhhh saya ketawa ngakak :mrgreen:

  2. cK

    kalau pas kondangan gimana? khan minim tempat duduk tuh. mau gak mau makan berdiri khan? 😕

  3. Hmm… Rasanya jadi mengingat-ingat dulu lagi *berasa udah tua :mrgreen:*… Rasanya ingin seperti anak-anak kecil itu, masih polos dan terlindung dari dosa.

  4. Wah…. kalau makan ngisep permen karet sambil berdiri boleh nggak ya?? Padahal saya sering loh nggak sengaja makan sambil berdiri, biasanya yang berdiri kalau lagi makan buah, terutama pisang. Biasanya pisang, kulitnya (tentu saja) dibuang di keranjang sampah, tentu untuk mencapai keranjang sampah harus berdiri dan berjalan, nah pas udah selesai buang kulit pisangnya, biasanya masih dalam keadaan berdiri, pisangnya biasanya langsung aku makan, soalnya udah nggak sabar lagi kalau nunggu sampai duduk… hehehe……

  5. ASSALAMU’ALAIKUM
    komentar sambil berdiri tidak separah makan sambil berdiri ya kang?…

    maaf baru tandang kemari dah lama tak jumpa, tapi makin keren tulisane… 🙂
    swer bukan memuji tapi berasa saya ikut mengaji.

  6. Walah ada-ada saja, lucu di cerita, bagus di bahasan. Kang masih di Bandung ya? Salam.

  7. Waduh masih sering makan sambil berdiri nih.. apalagi kalo kondangan dan gak kebagian kursi. Gimana dung?

  8. sopannya ya memang makan sambil duduk

  9. @mezzalena: Iya kamu pertamax komennya. Silakan tertawa.. 😀

    @cK: Ya usahakan duduk dong… minta kursi atau nyari tempat yang bisa diduduki. 😀

    @Aliakbar: 😀 Iya setuju..

    @Yari NK: Ya, kalau makan permen karet, tetep saja harus duduk. (Duh saya juga dulu sering ngunyah sambil berdiri ternyata… wakakakka..). Nah, kalau makan pisang: buka kulitnya, lalu makan (sambil duduk). Baru deh setelah itu kulitnya dibuang… 😀

    @mr. Kurt: Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Iya nih mr. Kurt ke mana aja, lama ga ada di dunia maya…. 😀

    @Ersis W. A :Iya masih di Bandung. Salam juga, Pak. 😀

    @ Yoga: Ya, nyari tempat duduk atau tempat yang bisa diduduki dong mba… 😀 He he he…

    @realylife: Iya. 😀

  10. adipati kademangan

    kalo makan sambil berdiri kayaknya gimanaaa gitu. rasa malu nya langsung terlihat

  11. gak boleh oleh agama, juga gak sopan

  12. Kalau budaya orang Jawa, dalam adat-istiadatnya biasanya mengenal dua kata, “gak ilok’ dan “gak pantes”. Untuk hal-hal yang dilarang dilakukan tapi masih bisa dipahami mengapa diarang dilakukan, misalnya karena tidak sesuai dengan norma dalam masyarakat, mereka akan bilang “gak pantes”. Misalnya, “jangan pulang malam-malam, gak pantes”, “jangan bicara atau tertawa terlalu keras, gak pantes”. Sedangkan untuk hal-hal yang dilarang dilakukan dan tidak alasan yang tepat yang mendasarinya karena memang mungkin secara turun-temurun sudah seperti itu, atau bertentangan dengan nilai adat atau , mereka akan bilang “gak ilok”. Contohnya, “jangan duduk di depan pintu, gak ilok”, “jangan makan sambil berdiri, gak ilok!”.

  13. Dulu sih, sebelum nikah paling anti kalau makan sambil berdiri. Sekarang ….ya begitulah

  14. terkadang kita sendiri yang udah pada ngerti suka lupa hal-hal kecil macam ginian, syukur ada anak kecil yang menjadi pengingat.

Leave a comment